Saya Menikmati Petualangan Saya, dan Andapun Bisa Menikmati Petualangan Saya... CEKIDOT..... !!!
Senin, 29 November 2010
Sukrosa
Sabtu, 02 Oktober 2010
SEKILAS PERJALANAN PROSES PENGOLAHAN GULA TEBU
Pada umumnya, pabrik gula tebu di Indonesia merupakan warisan belanda pada zaman kolonial. Perjalanan proses pengolahannyapun hampir seragam kecuali pada pabrik yang menerapkan proses karbonatasi. Berikut ini adalah sekilas proses pengolahan gula tebu dengan prmurnian cara sulfitasi. Secara garis besar, pabrik gula bertujuan untuk mengambil sukrosa dari tebu semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula seoptimal mungkin.
Dalam pabrik gula dikenal section-section yang disebut stasiun, mulai dari emplasement, stasiun gilingan sampai pengarungan.
A. Emplasement (Halaman Pabrik)
Halaman pabrik berfungsi untuk menimbun tebu yang datang dari kebun. Biasanya di sekitarya terdapat pohon-pohon besar yang berfungsi untuk menahan panasnya matahari. Suhu halaman pabrik yang panas akan menyebabkan temperatur tebu naik dan akan barakibat mempercepat proses tebu menjadi layu (wayu). Layunya tebu akan dibarengi dengan inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Hal ini disebabkan karena nira dalam tebu bersifat asam dan proses inversi lebih cepat apabila temperatur tinggi.
Idealnya, halaman pabrik dilengkapi dengan timbangan tebu, baik berupa jembatan timbang atau crane yang dilengkapi dengan timbangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bobot tebu yang masuk ke pabrik dan selanjutnya digunakan untuk pengawasan proses. Halaman pabrik juga harus mempunyai alat untuk bongkar muatan baik dari truk atau dari lori.
Yang terpenting adalah, persediaan tebu di halaman pabrik harus dapat memenuhi kapasitas giling. Sebenernya, sisa tebu kemarin dalam halaman pabrih, semakin kecil semakin baik. Untuk menjamin kelancaran giling, sisa tebu yang baik yaitu pada jam 06.00 sampai 18.00 sebanyak 12 dikali kapasitas giling perjam, dan pada jam 18.00 - 06.00 sebenyak 15 dikali kapasitas giling perjam. Literature lain juga menyebutkan sisa tebu kemarin yang baik adalah sebesat 25-30% dari kapasitas giling perhari dihitung pada jam 06.00 pagi.
B. Stasiun Gilingan
Stasiun gilingan dibagi menjadi dua bagian yaitu persiapan dan gilingan
1. Persiapan
Tebu yang dibongkar dari truk atau lori diletakkan diatas meja tebu. Meja tebu dilengkapi dengan alat yang berfungsi untuk mendorong tebu ke krepyak tebu (carrier). Setelah diatas carrier, tebu dibawa melewati cutter untuk dipotong menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya tebu terpotong dihancurkan dengan menggunakan shredder atau unigrator. Setelah itu masuk ke gilingan
Proses persiapan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan tebu yang akan digiling sehingga proses pemerahan bisa maksimal. Efektifitas dari alat-alat persiapan ditunjukkan dengan angka preparation index yang besarannya berbeda-beda tiap pabrik. Pada umumnya angka preparation index lebih kurang sebesar 90
2. Gilingan
Gilingan berfungsi untuk mengambil nira dalam tebu. Optimalnya gilingan dengan cepat dapat diketahui dengan melihat pol ampas. Semakin kecil pol ampas, akan semakin baik.
Dalam stasiun gilingan diberikan air panas (added water) yang biasa disebut imbibisi (dari bahasa belanda imbibitie). Fungsinya untuk membilas ampas gilingan antara agar fungsi pemerahan gula bisa maksimal. Umumnya pabrik gula menerapkan sistem imbibisi majemuk yaitu menggunakan air panas dan nira gilingan berikutnya. Dari stasiun gilingan dihasilkan nira mentah yaitu nira yang keluar dari gilingan 1 dan 2.
C. Stasiun Pemurnian
Fungsi dari stasiun pemurnian adalah untuk menyingkirkan kotoran-kotoran bukan gula yang terdapat dalam nira mentah. Proses yang dilakukan baik berupa proses fisik ataupun kimia. Proses dalam stasiun pemurnian dilakukan sedemikian rupa sehingga kerusakan sukrosa dapat ditekan seoptimal mungkin.
Yang pertama dilakukan dalam stasiun pemurnian adalah menyaringan dengan menggunakan saringan parabolis (DSM). Setelah itu nira mentah dipanasi sampai suhu 75 C. Nira mentah yang telah dipanasi ditambahkan Ca(OH)2 sampai pH tertentu. Setelah itu pada nira ditambahkan SO2 sampai pH netral. Nira dipanaskan kembali sampai suhu 105 C, ditambahkan flokulan dan diendapkan di clarifier. Setelah mengendap, nira jernih disaring lagi dan menghasilkan nira encer, setelah itu, dipanaskan sampai suhu 115 C dan selanjutnya diproses ke tehap evaporasi. Nira kotor yang ada di clarifier selanjutnya disaring menggunakan vacuum filter. Proses filtrasi ini menghasilkan filtrat dan blotong. Filtrat akan dikembalikan lagi ke awal proses pemurnian dan blotong diangkut truk menuju tempat penimbunan.
D. Stasiun Penguapan
Fungsi dari stasiun penguapan adalah meningkatkan konsentrasi larutan gula dalam nira. Nira encer dari stasuin pemurnian diuapkan dengan menggunakan evaporator multi effect. Nira dipanaskan dengan menggunakan uap panas yang berasal dari uap bekas penggerak turbin gilingan. Nira encer yang mempunyai brix 15 diuapkan airnya sampai mencapai brix 60. setelah itu akan dihasilkan material yang dinamakan nira pekat. Selanjutnya nira pekat ditambah SO2 sehingga dicapai pH tertentu.
E. Stasiun Kristalisasi
Sistem kristalisasi di pabrik gula tebu menggunakan sistem kristalisasi bertingkat, baik berupa A-D, A-C-D, A-B-D, atau A-B-C-D, dengan ketentuan A dan B adalah produk (berlaku untuk abrik gula tebu di jawa). Nira pekat hasil dari stasiun penguapan diuapkan lagi airnya sehingga akan terbentuk kristal dengan sendirinya. Metode lain kristalisasi adalah dengan menggunakan bibit gula berupa fondan yang selanjutnya kristal bibit itu dibesarkan.
Proses kristalisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kristal yang terbentuk mempunyai ukuran yang seragam. Seragamnya ukuran kristal gula akan dicapai apabila konsentrasi larutan dalam bejana kristalisasi dijaga pada konsentrasi tertentu. Setelah ukuran kristal yang diinginkan tercapai, maka kristal yang masih bercampur dengan larutan (masakan /massecuit) diturunkan ke bejana penampung.
F. Stasiun Pemutaran
Untuk memisahkan kristal dan larutan setelah proses kristalisasi dilakukan langkah pemutaran. Dengan gaya centrifugal, kristal akan tertahan di saringan (basket) dan larutan akan melewati saringan tersebut. Langkah proses pemutaran yang baik akan menghasilkan gula yang putih dan mempunyai kadar air yang kecil.
Di stasiun putaran terdapat 2 jenis alat yaitu batch dan continue. Putaran continue disebut low grade centrifugal dan putaran batch biasa disebut hi grade centrifugal (putaran untuk produk). Selanjutnya gula produk hasil pemutaran di angkut dengan talang goyang (grasshopper) menuju pengering.
G. Stasiun Pengeringan dan Pendinginan
Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam gula sehingga meningkatkan ketahanan dalam penyimpanan. Cara pengeringan dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan udara kering dan dikontakkan dengan gula. Alat yang digunakan bermacam macam ada yang berupa talang getar atau rotary dryer.
Gula yang dikeringkan dalam keadaan panas, untuk itu perlu didinginkan agar tidak terjadi proses kimiawi yaitu browning pada saat penyimpanan. Pendinginan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin baik dari udara sekitar ataupun udara dingin dari alat pendingin udara.
H. Stasiun Pengarungan
Gula yang sudah dingin selanjutnya ditampung di sugar bin. Setelah itu dilakukan pengarungan atau pengemasan dengan berat 50 Kg. Untuk suplai langsung ke konsumen, pabrik biasanya juga membuat kemasan 1 Kg.
I. Gudang Gula
Gudang gula berfungsi untuk menimbun gula yang telah dikemas. selanjutnya gula siap untuk didistribusikan ke penyalur atau konsumen.
Selasa, 28 September 2010
Saccharate liming (Sistem sakarat di pabrik gula)

Inovasi lain yang sedang ramai dibincangkan adalah sistem sakarat pada proses pemurnian. Pada masa giling tahun 2010, telah banyak pabrik gula di jawa yang berinovasi untuk menerapkan pemurnian dengan menambahkan susu kapur dalam bentuk kalsium sakarat. Sebelumnya, pabrik gula Gunung Madu di lampung tengah telah sukses menerapkan metode sakarat. Pada masa giling tahun 2009, PT. PG Rajawali II juga menerapkan metode ini disusul PT. PG. Rajawali I, dan PT. PG Candi Baru pada tahun giling berikutnya. Yang membedakan sistem ini dengan yang lain adalah pada cara penambahan susu kapur pada proses pemurniannya yaitu diberikan dalam bentuk kalsium sakarat.
Dalam proses pemurnian di pabrik gula, penetralan nira dilakukan dengan menambahkan susu kapur, hidroksida kapur yang terlarut mengalami ionisasi dari ion Ca++ bereaksi dengan asam. Konsentrasi ion Ca++ dipengaruhi oleh kelarutan kapur, dan ternyata kelarutan kapur cukup kecil, yaitu pada suhu 25OC hanya terlarut 0,12 ℅ yang berarti kecepatan reaksi penetralan juga lambat. Sifat sakarida mampu membentuk ikatan dengan kation, termasuk kapur membentuk sakarat sehingga kadar kapur aktif tampak menaik atau kelarutan kapur dalam larutan gula meningkat. Pada larutan sukrosa 10 % dapat mengandung CaO 1,5 %.
Kelarutan hidroksida kalsium akan turun bila suhu naik. Jadi larutan jenuh pada suhu kamar bila dididihkan atau dipanaskan akan terjadi pengendapan. Kelarutan juga dipengaruhi oleh sifat partikel kapur. Kelarutan hidriksida kalsium (kapur) juga akan naik pada pelarut berupa larutan gula. Semakin tinggi konsentrasi larutan gula, maka kelarutan kapur juga akan bertambah. Larutnya kapur akan menaikkan kadar kapur dalam larutan gula. Jika kadar kapur dalam larutan gula tinggi, maka terdapat kapur aktif yang tinggi pula yang berarti reaktifitas kapur akan meningkat. Hal ini yang menjadi dasar pemilihan sistem sakarat pada proses pemurnian.
Untuk menerapkan sistem sakarat ini, ada literatur yang menggunakan nira pekat dengan kadar brix 68 dicampur dengan menggunakan susu kapur dengan kadar 15 oBe dengan perbandingan 7 : 1 dengan waktu reaksi selama 5 menit dengan adanya pengadukan (mixing). Walaupun sebenarnya dapat dibuat juga dengan campuran nira mentah dan susu kapur. Larutan sakarat yang terbentuk mempunyai pH berkisar 11,0 - 11,5. Selanjutnya sakarat diinjeksikan sesuai dosis yang cocok pada nira mentah, tiap bahan (nira mentah) mempunyai karakteristik tertentu sehingga perlu adanya percobaan di laboratorium dalam penentuan dosisnya. Ada juga yang mencoba sakarat dengan perbandingan +/- 1% terhadap nira mentah yang diolah. Adapun injeksinya dilakukan pada pipa setelah tahapan pemanas pertama (JH/PP I).
Perlu menjadi perhatian dalam pembuatan sakarat, nira pekat pada kondisi pH yang tinggi (pH 11,0 - 11,5), beberapa gula reduksi yang telah rusak akan meningkatkan kadar asam organik dalam bentuk garam kalsium dan akan menurunkan PH. Selain itu, asam amino yang ada akan bereaksi dengan reducing sugar yang menyebabkan reaksi maillard. Proses degradasi ini bertambah banyak seiring dengan lamanya waktu tinggal, sehingga memperhitungkan waktu tinggal dalam proses pembuatan sakarat menjadi penting.
Operasi sakarat di PT. PG Rajawali II unit PG. Sindang laut, PG. Tersana Baru dan PG. Karang Suwung menunjukkan, aplikasi sistem sakarat ini akan menurunkan penggunaan bahan pembantu yang berupa belerang dan kapur tohor. Dalam operasi sakarat, jumlah penggunaan kapur yang dicapai adalah sebanyak 125 Kg/100 ton tebu dan belerang sebanyak 27 Kg/100 ton tebu.
Dalam operasi sakarat, kontrol pH menjadi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Idealnya, proses pemurnian pada zaman yang sudah maju ini menggunakan kontrol pH otomatis yang dihubungkan dengan modutrol di sistem penjatah kapur. Hal ini akan memudahkan pengontrolan pH dan efeknya adalah lebih sempurnanya proses pemurnian sesuai dengan keinginan.
Penggunaan pH meter digital di stasiun pemurnian sebenarnya sudah banyak diterapkan pada pabrik gula di jawa, akan tetapi kenyataannya penulis belum pernah menemui pH meter di pabrik gula (pemurnian) yang bisa berfungsi dengan baik, padahal investasi yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini merupakan sesuatu yang kurang mendapat perhatian, sehingga pabrik-pabrik yang latah untuk menjadi modern yaitu dengan menggunakan pH meter digital di stasiun pemurnian kecewa dengan performanya. Untuk itu perlu diperhitungkan dan diperhatikan jenis-jenis pH meter yang akan digunakan.

Kamis, 16 September 2010
MENINJAU ULANG TENTANG IMBIBISI DI STASIUN GILINGAN PABRIK GULA
Oleh :
Ir. Sunantyo, MT. APU.
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
P3GI Pasuruan
Upaya menyelematkan kandungan gula atau sukrosa dalam batang tebu memerlukan penanganan seoptimal mungkin, yaitu semenjak tebu ditebang sampai digiling di stasiun gilingan. Dalam hal ini telah banyak diketahui oleh pelaku industri gula, baik dari bidang tanaman, pabrikasi maupun bidang instalasi. Di stasiun gilingan tebu terlebih dahulu dipotong, dirobek, dibelah, dicacah dan dihancurkan menjadi serpihan kecil-kecil kemudian digiling untuk diperah niranya.
Berbagai upaya telah dilakukan semaksimal mungkin oleh para teknolog untuk memerah nira yang terkandung di batang tebu. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi efisiensi dalam pemerahan nira. Dalam kegiatan pemerahan nira dari batang tebu dikenal dengan istilah ekstraksi. Ekstraksi didefinisikan sebagai proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan suatu pelarut. Sebagai pelarut yang digunakan dalam proses pemerahan nira di stasiun gilingan adalah air. Air yang digunakan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi tebu kita kenal sebagai air imbibisi. Maksud dari pemberian imbibisi ini adalah untuk mengencerkan nira yang tersisa dalam ampas tebu agar lebih mudah diperah niranya.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pemerahan nira dari batang tebu adalah pemberian imbibisi air di stasiun gilingan. Kiat pemberian imbibisi di stasiun gilingan yang dilakukan sejak lama ternyata mempunyai permasalahan tersendiri yang unik dan menarik untuk ditinjau.
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Hasil Ekstraksi
Di pabrik gula angka pengawasan gilingan untuk menyatakan hasil ekstraksi di stasiun gilingan adalah angka HPG (Hasil Pemerahan Gula). Ekstraksi atau HPG dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tebu, kadar sabut, umur tebu, kandungan kotoran tebu, tipe atau jenis pencacahan awal, susunan gilingan, putaran rol, bentuk alur rol, setelan gilingan, stabilitas kapasitas giling, tekanan, sanitasi gilingan, kadar gula atau pol tebu dan imbibisi. Dari banyak faktor yang berpengaruh terhadap hasil ekstraksi tersebut dalam tulisan ini akan ditinjau ulang sehubungan tentang imbibisi.
Imbibisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi. Sehubungan dengan imbibisi untuk angka pengawasan di stasiun gilingan dinyatakan dalam angka imbibisi % tebu dan imbibisi % sabut. Guna mendapatkan gambaran pengaruh imbibisi terhadap hasil ekstraksi, berikut disajikan data rerata imbibisi % sabut dan % pol ampas akhir seperti tampak pada tabel 1.
Tabel 1. Rerata imbibisi % sabut dan % pol ampas akhir
Sumber data : Daftar 1 Soetomo R, 1965
Dari tabel 1 yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok A, B dan C menunjukkan bahwa imbibisi % sabut menurun, maka % pol ampas akhir nampak cenderung meningkat yang berarti suatu kecenderungan hasil ekstraksi / HPG (Hasil Pemerahan Gula) menurun dan atau sebaliknya. Sehubungan dengan pengaruh imbibisi terhadap hasil ekstraksi berikut disajikan data imbibisi % sabut dan HPG12,5 seperti tampak pada tabel 2.
Tabel 2. Rerata imbibisi % sabut dan HPG12,5.
Sumber : Ikhtisar Angka Perusahaan P3GI (Mochtar M, dkk)
Memperhatikan data dalam tabel 2 tampak bahwa makin tinggi imbibisi % sabut ada kecenderungan makin tinggi hasil pemerahan gula (HPG). Jika standar pemakaian imbibisi % sabut adalah berkisar 130 - 140 berarti dalam masa giling 1978 - 1994 (tidak termasuk diffuser) rerata imbibisi % sabut telah menuju standar dari tinjauan pemberian air imbibisi.
Cara Pemberian Imbibisi
Dalam hal imbibisi permasalahan yang menarik dan perlu mendapat perhatian antara lain adalah macam, cara pemberian, kuantitas dan kualitas imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan. Imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan ada dua macam, yaitu imbibisi air dan imbibisi nira. Imbibisi air yaitu imbibisi yang diberikan ke stasiun gilingan hanya berupa air. Imbibisi air tersebut berasal dari luar stasiun gilingan, yaitu berasal dari air kondensat, air sumur/tanah dan atau air sungai.
Mengenai suhu imbibisi yaitu kita kenal dengan imbibisi dingin dan imbibisi panas. Imbibisi dingin, yaitu air yang diberikan sebagai imbibisi di stasiun gilingan tanpa dipanasi terlebih dahulu. Sedangkan imbibisi panas, yaitu air yang diberikan sebagai imbibisi dipanasi terlebih dahulu sampai suhu 60 - 70 C. Selain itu, cara memberikan imbibisi sebaiknya perlu diberikan sejak ampas tebu keluar dari rol belakang gilingan di sepanjang rol atau selebar krepyak disemprot merata dengan tekanan yang kuat. Penyemprotan yang merata dan kuat dimaksudkan agar air dapat merata dengan cepat keseluruh permukaan partikel ampas. Pekerjaan ini bukanlah hal mudah, karena dalam waktu yang singkat diharapkan pencampuran berjalan sempurna dan merata. Mengingat karakteristik ampas tebu cepat menyerap air. Daya serap ampas terhadap air tinggi sekali, mencapai 4 sampai 5 kali berat ampas semula.
Kuantitas imbibisi merupakan permasalahan yang penting, oleh karena sangat menentukan konsentrasi nira dalam ampas setelah proses pelarutan atau pengenceran. Pada kondisi ekstraksi tertentu, nira yang tersisa dalam ampas jumlahnya akan sebanding dengan jumlah sabut. Angka pengawasan imbibisi di stasiun gilingan lebih tepat apabila dinyatakan dengan imbibisi % sabut daripada imbibisi % tebu. Namun ada teknolog yang menyatakan dengan imbibisi % nira yang tersisi dalam ampas gilingan 1, oleh karena nira tersebut yang akan mengalami pelarutan dan pengenceran. Imbibisi air yang digunakan sebagai pelarut harus diuapkan kembali, maka kuantitas air yang diberikan harus mempunyai batasan optimal. Kuantitas imbibisi yang optimal ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kenaikan ekstraksi dan besarnya biaya untuk penguapan air yang diperlukan. Kuantitas imbibisi merupakan suatu fungsi dari ekstraksi, yaitu ekstraksi atau HPG meningkat dengan meningkatnya kuantitas imbibisi yang diberikan. Namun dalam kenyataannya hal ini sulit untuk menentukan batasan peningkatan ekstraksinya.
Mengenai kualitas imbibisi selain imbibisi nira, imbibisi air yang diberikan di stasiun gilingan bukan hanya air kondensat, air sumur/tanah juga digunakan dan juga air sungai. Sampai sekarang ini, khususnya air yang diperoleh dari sungai belum kita perhatikan kualitasnya. Tidak mustahil kualitas imbibisi air yang berasal dari sungai, khususnya air yang tercemar dari berbagai polutan maka diduga banyak atau sedikit akan mempengaruhi kualitas dari nira yang berhasil diperah.
Dalam hal imbibisi dikenal pula tentang maserasi panas nobel yaitu nira dipanaskan sampai suhu 80 - 90C dengan hasil yang cukup memuaskan dalam upaya untuk meningkatkan ekstraksi. Kegiatan ini pernah dilakukan di pabrik gula di Indonesia sekitar tahun 1940an. Namun setelah alat pencacah pendahuluan berkembang dengan pesat tampak bahwa efektifitas sistem maserasi panas nobel kurang nyata.
Sehubungan dengan upaya peningkatan ekstraksi dengan sistem difusi telah lama ada peralatan yang disebut dengan diffuser. Pada sistem difusi ini, pemakaian air sangat tinggi. Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan diffuser antara lain, imbibisi berkisar % sabut, pH nira, suhu nira sekitar, kebersihan lingkungan di stasiun gilingan, kapasitas giling yang kontinu, dsb.
Dari uraian diatas dikatakan bahwa suhu imbibisi air yang digunakan adalah imbibisi panas dan imbibisi dingin. Dengan imbibisi air panas, maka gula akan lebih banyak dan lebih cepat terperah dan memungkinkan pula bukan gula ikut terlarut, misalnya lilin, tanah dsb. Disamping itu angka pengawasan dari penimbangan (berat) menjadi kurang teliti karena kemungkinan terjadi penguapan. Dengan imbibisi air dingin angka penimbangan (berat) tidak terpengaruh, karena kemungkinan tidak terjadi penguapan selama proses pemberian imbibisi berlangsung dan tidak ada biaya ekstra untuk pemanasan air tetapi gula yang terperah relatif sedikit. Upaya yang telah dicoba dibeberapa pabrik gula sehubungan dengan imbibisi yang tanpa memerlukan ekstra jumlah air dari kebiasaan yang telah dilakukan oleh pabrik gula yaitu dengan sistem sirkulasi yang dinamakan sistem sirkulasi imbibisi.
Sistem Sirkulasi Imbibisi
Setiap penambahan air di stasiun gilingan yang dimaksudkan untuk memperoleh kenaikkan ekstraksi, maka dalam proses pengolahan selanjutnya air tersebut harus diuapkan atau dipisahkan kembali. Dengan mengingat batasan kuantitas air yang ditambahkan di stasiun gilingan perlu mendapat perhatian, maka salah satu upaya lain yang pernah dilakukan untuk meningkatkan ekstraksi dan tampak memberikan hasil positif ialah sistem sirkulasi imbibisi.
Maksud dari sistem sirkulasi imbibisi adalah untuk mengontakkan sebanyak mungkin air dengan nira yang tersisa dalam sel jaringan ampas tebu tanpa menambah kuantitas imbibisi air ke stasiun gilingan. Dasar pertimbangan pertama yaitu tetap mengingat bahwa setiap penambahan air di stasiun gilingan maka perlu diuapkan kembali yang dalam hal ini merupakan suatu ekstra biaya. Sedangkan dasar pertimbangan kedua, bahwa dari gilingan akhir dan didepannya kandungan % brix niranya masih relatif rendah, misalnya % brix nira gilingan akhir 4.50, maka berarti yang 95,50 % adalah air. Demikian pula untuk nira yang berasal dari gilingan sebelumnya.
Cara melakukan sistem sirkulasi imbibisi adalah sebagai berikut : nira yang berasal dari gilingan akhir yang biasanya semua dialirkan ke ampas gilingan sebelumnya, maka dengan sistem sirkulasi imbibisi ini tidak semuanya dialirkan ke ampas yang akan masuk ke gilingan didepannya, tetapi sebagian dialirkan lagi ke gilingan akhir. Demikian seterusnya untuk nira yang berasal dari gilingan didepannya. Tentunya dengan mengingat pertimbangan lain, yaitu sejauh mana gilingan tidak boleh selip dan kadar air ampas akhir tetap harus dijaga seperti semula.
Penutup
Faktor yang berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan diantaranya adalah imbibisi. Oleh karena itu, setiap upaya sehubungan dengan imbibisi yang memberikan dampak positif terhadap kenaikan ekstraksi, tentunya layak mendapat perhatian. Sehubungan dengan pemakaian imbibisi, maka sistem sirkulasi imbibisi merupakan salah satu alternatif yang layak diuji dan dicoba lebih optimal untuk dikembangkan.
Dari : http://www.risvank.com/
Selasa, 14 September 2010
Sekilas Tentang Teknologi Gula
Oleh : Panji Adventure
Teknologi adalah kata yang diangkat dari bahasa Yunani, techne yang artinya pembuatan barang, dan logos yang artinya ilmu. Apabila teknologi gula diartikan sebagai ilmu pembuatan gula, dari sudut pandang kimia sebenarnya tidak tepat, karena di dalam pabrik tidak ada proses sintesis (reaksi pembentukan) gula (sucrose). Sucrose terdapat di dalam bahan baku yaitu tebu, jadi akan lebih tepat jika teknologi gula diartikan sebagai pengolahan gula, bukan pembuatan. Pengolahan yang dimaksud adalah mengolah bahan baku, mengambil sucrose yang ada dalam baham baku, dan memurnikan sekaligus mengkristalkannya. Tujuan utama teknologi gula adalah mengambil sebanyak-banyaknya gula yang ada di dalam bahan baku berupa tebu, dengan menekan kehilangan dalam prosesnya seoptimal mungkin.
Di Indonesia, lembaga yang konsisten untuk mendidik dan mempersiapkan tenaga ahli dibidang pengolahan gula adalah CGN (College Gula Negara) berganti nama menjadi AGN (Akademi Gula Negara) yang sekarang menjadi LPP (Lembaga Pendidikan Perkebunan), berdiri sejak tahun 1950 dan terletak di Kota Yogyakarta. Selain itu di Pasuruan, Jawa Timur terdapat P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) yang selalu mengembangkan dan memajukan teknologi gula. Selain itu, terdapat pula pihak swasta yang turut serta mengembangkan teknologi gula dengan cara mendirikan perusahaan jasa konsultan antara lain Indo Code (Surabaya) dan Benre Guin (Yogyakarta).
Teknologi gula menuntut seorang teknolog memahami tentang peralatan, proses (operasional) dan pengawasan pabrik gula. Selain itu, pengetahuan tentang bahan baku (tebu) juga sangat penting untuk menunjang kemampuan pengawasan. Peralatan yang digunakan dan proses yang dilakukan di pabrik gula sangat beragam, untuk itu, keragaman pengawasan yang dilakukan juga seiring dengan kompleksnya peralatan dan proses yang dilakukan, belum lagi dengan pengawasan bahan baku.
Peralatan yang ada di pabrik gula sangat komplek mulai dari alat pencacah, penghancur, alat pemerah, bejana reaksi, pengendap, penyaring hampa, bejana penguapan, alat pengkristal, pencuci, pengering dan lain-lain. Alat tranportasi dalam pabrik juga bermacam macam, mulai dari crane, carrier, elevator, screw conveyor, belt conveyor, pompa centrifugal, pompa rota, plunger dan masih banyak lagi. Banyaknya peralatan yang digunakan juga menunjukkan beragamnya proses yang dilakukan antara lain pemerahan, penyaringan, pemanasan, pereaksian dengan bahan pembantu proses, penguapan, pengkristalan, pencucian, dan pengeringan.
Dalam teknologi gula, pengawasan menjadi sangat penting diketahui untuk kepentingan manajerial. Pengawasan berfungsi untuk mengawasi proses dan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan.
demikian apabila ada kesalahan saya mohon maaf
Selasa, 24 Agustus 2010
SEKILAS PERJALANAN PROSES PENGOLAHAN GULA TEBU
Pada umumnya, pabrik gula tebu di Indonesia merupakan warisan belanda pada zaman kolonial. Perjalanan proses pengolahannyapun hampir seragam kecuali pada pabrik yang menerapkan proses karbonatasi. Berikut ini adalah sekilas proses pengolahan gula tebu dengan prmurnian cara sulfitasi. Secara garis besar, pabrik gula bertujuan untuk mengambil sukrosa dari tebu semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula seoptimal mungkin.
Dalam pabrik gula dikenal section-section yang disebut stasiun, mulai dari emplasement, stasiun gilingan sampai pengarungan.
Emplasement (Halaman Pabrik)
Halaman pabrik berfungsi untuk menimbun tebu yang datang dari kebun. Biasanya di sekitarya terdapat pohon-pohon besar yang berfungsi untuk menahan panasnya matahari. Suhu halaman pabrik yang panas akan menyebabkan temperatur tebu naik dan akan barakibat mempercepat proses tebu menjadi layu (wayu). Layunya tebu akan dibarengi dengan inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Hal ini disebabkan karena nira dalam tebu bersifat asam dan proses inversi lebih cepat apabila temperatur tinggi.
Idealnya, halaman pabrik dilengkapi dengan timbangan tebu, baik berupa jembatan timbang atau crane yang dilengkapi dengan timbangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bobot tebu yang masuk ke pabrik dan selanjutnya digunakan untuk pengawasan proses. Halaman pabrik juga harus mempunyai alat untuk bongkar muatan baik dari truk atau dari lori.
Yang terpenting adalah, persediaan tebu di halaman pabrik harus dapat memenuhi kapasitas giling. Sebenernya, sisa tebu kemarin dalam halaman pabrih, semakin kecil semakin baik. Untuk menjamin kelancaran giling, sisa tebu yang baik yaitu pada jam 06.00 sampai 18.00 sebanyak 12 dikali kapasitas giling perjam, dan pada jam 18.00 - 06.00 sebenyak 15 dikali kapasitas giling perjam. Literature lain juga menyebutkan sisa tebu kemarin yang baik adalah sebesat 25-30% dari kapasitas giling perhari dihitung pada jam 06.00 pagi.
Stasiun Gilingan
Stasiun gilingan dibagi menjadi dua bagian yaitu persiapan dan gilingan
1. Persiapan
Tebu yang dibongkar dari truk atau lori diletakkan diatas meja tebu. Meja tebu dilengkapi dengan alat yang berfungsi untuk mendorong tebu ke krepyak tebu (carrier). Setelah diatas carrier, tebu dibawa melewati cutter untuk dipotong menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya tebu terpotong dihancurkan dengan menggunakan shredder atau unigrator. Setelah itu masuk ke gilingan
Proses persiapan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan tebu yang akan digiling sehingga proses pemerahan bisa maksimal. Efektifitas dari alat-alat persiapan ditunjukkan dengan angka preparation index yang besarannya berbeda-beda tiap pabrik. Pada umumnya angka preparation index lebih kurang sebesar 90
2. Gilingan
Gilingan berfungsi untuk mengambil nira dalam tebu. Optimalnya gilingan dengan cepat dapat diketahui dengan melihat pol ampas. Semakin kecil pol ampas, akan semakin baik.
Dalam stasiun gilingan diberikan air panas (added water) yang biasa disebut imbibisi (dari bahasa belanda imbibitie). Fungsinya untuk membilas ampas gilingan antara agar fungsi pemerahan gula bisa maksimal. Umumnya pabrik gula menerapkan sistem imbibisi majemuk yaitu menggunakan air panas dan nira gilingan berikutnya. Dari stasiun gilingan dihasilkan nira mentah yaitu nira yang keluar dari gilingan 1 dan 2.
Stasiun Pemurnian
Fungsi dari stasiun pemurnian adalah untuk menyingkirkan kotoran-kotoran bukan gula yang terdapat dalam nira mentah. Proses yang dilakukan baik berupa proses fisik ataupun kimia. Proses dalam stasiun pemurnian dilakukan sedemikian rupa sehingga kerusakan sukrosa dapat ditekan seoptimal mungkin.
Yang pertama dilakukan dalam stasiun pemurnian adalah menyaringan dengan menggunakan saringan parabolis (DSM). Setelah itu nira mentah dipanasi sampai suhu 75 C. Nira mentah yang telah dipanasi ditambahkan Ca(OH)2 sampai pH tertentu. Setelah itu pada nira ditambahkan SO2 sampai pH netral. Nira dipanaskan kembali sampai suhu 105 C, ditambahkan flokulan dan diendapkan di clarifier. Setelah mengendap, nira jernih disaring lagi dan menghasilkan nira encer, setelah itu, dipanaskan sampai suhu 115 C dan selanjutnya diproses ke tehap evaporasi. Nira kotor yang ada di clarifier selanjutnya disaring menggunakan vacuum filter. Proses filtrasi ini menghasilkan filtrat dan blotong. Filtrat akan dikembalikan lagi ke awal proses pemurnian dan blotong diangkut truk menuju tempat penimbunan.
Stasiun Penguapan
Fungsi dari stasiun penguapan adalah meningkatkan konsentrasi larutan gula dalam nira. Nira encer dari stasuin pemurnian diuapkan dengan menggunakan evaporator multi effect. Nira dipanaskan dengan menggunakan uap panas yang berasal dari uap bekas penggerak turbin gilingan. Nira encer yang mempunyai brix 15 diuapkan airnya sampai mencapai brix 60. setelah itu akan dihasilkan material yang dinamakan nira pekat. Selanjutnya nira pekat ditambah SO2 sehingga dicapai pH tertentu.
Stasiun Kristalisasi
Sistem kristalisasi di pabrik gula tebu menggunakan sistem kristalisasi bertingkat, baik berupa A-D, A-C-D, A-B-D, atau A-B-C-D, dengan ketentuan A dan B adalah produk (berlaku untuk abrik gula tebu di jawa). Nira pekat hasil dari stasiun penguapan diuapkan lagi airnya sehingga akan terbentuk kristal dengan sendirinya. Metode lain kristalisasi adalah dengan menggunakan bibit gula berupa fondan yang selanjutnya kristal bibit itu dibesarkan.
Proses kristalisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kristal yang terbentuk mempunyai ukuran yang seragam. Seragamnya ukuran kristal gula akan dicapai apabila konsentrasi larutan dalam bejana kristalisasi dijaga pada konsentrasi tertentu. Setelah ukuran kristal yang diinginkan tercapai, maka kristal yang masih bercampur dengan larutan (masakan /massecuit) diturunkan ke bejana penampung.
Stasiun Pemutaran
Untuk memisahkan kristal dan larutan setelah proses kristalisasi dilakukan langkah pemutaran. Dengan gaya centrifugal, kristal akan tertahan di saringan (basket) dan larutan akan melewati saringan tersebut. Langkah proses pemutaran yang baik akan menghasilkan gula yang putih dan mempunyai kadar air yang kecil.
Di stasiun putaran terdapat 2 jenis alat yaitu batch dan continue. Putaran continue disebut low grade centrifugal dan putaran batch biasa disebut hi grade centrifugal (putaran untuk produk). Selanjutnya gula produk hasil pemutaran di angkut dengan talang goyang (grasshopper) menuju pengering.
Stasiun Pengeringan dan Pendinginan
Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam gula sehingga meningkatkan ketahanan dalam penyimpanan. Cara pengeringan dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan udara kering dan dikontakkan dengan gula. Alat yang digunakan bermacam macam ada yang berupa talang getar atau rotary dryer.
Gula yang dikeringkan dalam keadaan panas, untuk itu perlu didinginkan agar tidak terjadi proses kimiawi yaitu browning pada saat penyimpanan. Pendinginan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin baik dari udara sekitar ataupun udara dingin dari alat pendingin udara.
Stasiun Pengarungan
Gula yang sudah dingin selanjutnya ditampung di sugar bin. Setelah itu dilakukan pengarungan atau pengemasan dengan berat 50 Kg. Untuk suplai langsung ke konsumen, pabrik biasanya juga membuat kemasan 1 Kg.
Gudang Gula
Gudang gula berfungsi untuk menimbun gula yang telah dikemas. selanjutnya gula siap untuk didistribusikan ke penyalur atau konsumen.
Technorati : proses pengolahan gula tebu
Del.icio.us : proses pengolahan gula tebu
Zooomr : proses pengolahan gula tebu
Flickr : proses pengolahan gula tebu
Minggu, 15 Agustus 2010
Tips Menyusun Neraca Massa
Beberapa tips yang dapat digunakan dalam penyusunan neraca massa dalam tugas prarancangan pabrik kimia adalah sebagai berikut :
A. Persiapan
1. Sebelum neraca massa cari dulu di buku2 kaya Perry, Coulson, Wallas, dan lain lain data sifat sifat fisis bahan seperti kadar, berat molekul, fasa, titik didih, kelarutan, ukuran, titik beku, dan lain lain.
2. Untuk merancang reactor data yang dibutujhkan adalah : Data reaksi kimia yang terjadi baik reaksi utama maupun reaksi samping, data perbandingan kecepatan reaksi masing masing reaksi atau data perbandingan konversi masing masing reaksi, data konversi reaksi yang terjadi.
3. Untuk alat alat pemisah biasanya:
- Untuk yang berdasarkan keseimbangan uap cair data yang dibutuhkan adalah data keseimbangan uap cair seperti persamaan Antoine, contoh : vapourizer,flash drum, dll.
- Untuk yang pemisahanya berdasarkan kelarutan seperti extractor, decanter, absorber,dll maka dibutuhkan data kelarutan senyawa yang satu terhadap yang lain. Data dapat diperoleh di Perry's edisi 6 bab 3 dan bab sesuai pembahasannya.
4. Untuk alat pemisah berdasarkan beda fasa, seperti filtrasi,centrifuge, dibutuhkan data densitas,ukuran butir,viskositas,dll
5. Untuk alat pemisah berdasarkan ukuran butir dibutuhkan data densitas dan ukuran butir.
6. Untuk menara distilasi dibutuhkan ketentuan tentang key component yang terutama ingin dipisahkan, kadar produk akhir yang diinginkan, recovery produk utama terhadap umpan, dan data keseimbangan fasa seperti persamaan Antoine untuk menghitung distributed component.
B. Penyusunan Neraca Massa
Langkah penyusunan neraca massa yang menurut saya paling mudah adalah :
1. Menentukan basis perhitungan, misalnya basis perhitungan : umpan A 1000 kg/j.
2. Menghitung satu per satu per alat massa masing2 senyawa berdasarkan ketentuan tiap alat, dari depan ke belakang sampai diperoleh produk akhir.
3. Hitung berapa produk akhir yang diperoleh berdasarkan basis, misalnya dengan basis umpan A 1000 kg/j diperoleh produk B 950 kg/j.
4. Hitung Ratio perhitungan
a. Ratio= produk sebenarnya diinginkan/produk didapat dari basis
b. Maka umpan A sebenarnya = Ratio x 1000 kg/j
5. Tinggal hitung dech ke belakang pake umpan sebenarnya, atau kalikan aja massa semua yang telah dihitung berdasarkan basis dengan Ratio perhitungan.
6. Cek neraca massa total overall pabrik, total masuk harus = total keluar, kalou salah yah….pasti harus di cek mana yang ga bener ngitungnya.
Senin, 09 Agustus 2010
Saccharate liming
Industri pengolahan gula pada umumnya menerapkan pemurnian dengan sistem sulfitasi (defekasi-sulfitasi). Terdapat beberapa pabrik saja yang menerapkan pemurnian secara karbonatasi diantaranya adalah PG. Gondang Baru di Klaten dan salah satu pabrik milik Sugar Group di lampung tengah. Beberapa pabrik gula baru menerapkan sistem pengolahan semi rafinasi yang bisa menghasilkan SHS (gula produk) yang memiliki warna (ICUMSA) yang lebih kecil daripada dengan proses sulfitasi.
Inovasi lain yang sedang ramai dibincangkan adalah sistem sakarat pada proses pemurnian. Pada masa giling tahun 2010, telah banyak pabrik gula di jawa yang berinovasi untuk menerapkan pemurnian dengan menambahkan susu kapur dalam bentuk kalsium sakarat. Sebelumnya, pabrik gula Gunung Madu di lampung tengah telah sukses menerapkan metode sakarat. Pada masa giling tahun 2009, PT. PG Rajawali II juga menerapkan metode ini disusul PT. PG. Rajawali I, dan PT. PG Candi Baru pada tahun giling berikutnya. Yang membedakan sistem ini dengan yang lain adalah pada cara penambahan susu kapur pada proses pemurniannya yaitu diberikan dalam bentuk kalsium sakarat.
Dalam proses pemurnian di pabrik gula, penetralan nira dilakukan dengan menambahkan susu kapur, hidroksida kapur yang terlarut mengalami ionisasi dari ion Ca++ bereaksi dengan asam. Konsentrasi ion Ca++ dipengaruhi oleh kelarutan kapur, dan ternyata kelarutan kapur cukup kecil, yaitu pada suhu 25OC hanya terlarut 0,12 ℅ yang berarti kecepatan reaksi penetralan juga lambat. Sifat sakarida mampu membentuk ikatan dengan kation, termasuk kapur membentuk sakarat sehingga kadar kapur aktif tampak menaik atau kelarutan kapur dalam larutan gula meningkat. Pada larutan sukrosa 10 % dapat mengandung CaO 1,5 %.
Kelarutan hidroksida kalsium akan turun bila suhu naik. Jadi larutan jenuh pada suhu kamar bila dididihkan atau dipanaskan akan terjadi pengendapan. Kelarutan juga dipengaruhi oleh sifat partikel kapur. Kelarutan hidriksida kalsium (kapur) juga akan naik pada pelarut berupa larutan gula. Semakin tinggi konsentrasi larutan gula, maka kelarutan kapur juga akan bertambah. Larutnya kapur akan menaikkan kadar kapur dalam larutan gula. Jika kadar kapur dalam larutan gula tinggi, maka terdapat kapur aktif yang tinggi pula yang berarti reaktifitas kapur akan meningkat. Hal ini yang menjadi dasar pemilihan sistem sakarat pada proses pemurnian.
Untuk menerapkan sistem sakarat ini, ada literatur yang menggunakan nira pekat dengan kadar brix 68 dicampur dengan menggunakan susu kapur dengan kadar 15 oBe dengan perbandingan 7 : 1 dengan waktu reaksi selama 5 menit dengan adanya pengadukan (mixing). Walaupun sebenarnya dapat dibuat juga dengan campuran nira mentah dan susu kapur. Larutan sakarat yang terbentuk mempunyai pH berkisar 11,0 - 11,5. Selanjutnya sakarat diinjeksikan sesuai dosis yang cocok pada nira mentah, tiap bahan (nira mentah) mempunyai karakteristik tertentu sehingga perlu adanya percobaan di laboratorium dalam penentuan dosisnya. Ada juga yang mencoba sakarat dengan perbandingan +/- 1% terhadap nira mentah yang diolah. Adapun injeksinya dilakukan pada pipa setelah tahapan pemanas pertama (JH/PP I).
Perlu menjadi perhatian dalam pembuatan sakarat, nira pekat pada kondisi pH yang tinggi (pH 11,0 - 11,5), beberapa gula reduksi yang telah rusak akan meningkatkan kadar asam organik dalam bentuk garam kalsium dan akan menurunkan PH. Selain itu, asam amino yang ada akan bereaksi dengan reducing sugar yang menyebabkan reaksi maillard. Proses degradasi ini bertambah banyak seiring dengan lamanya waktu tinggal, sehingga memperhitungkan waktu tinggal dalam proses pembuatan sakarat menjadi penting.
Operasi sakarat di PT. PG Rajawali II unit PG. Sindang laut, PG. Tersana Baru dan PG. Karang Suwung menunjukkan, aplikasi sistem sakarat ini akan menurunkan penggunaan bahan pembantu yang berupa belerang dan kapur tohor. Dalam operasi sakarat, jumlah penggunaan kapur yang dicapai adalah sebanyak 125 Kg/100 ton tebu dan belerang sebanyak 27 Kg/100 ton tebu.
Dalam operasi sakarat, kontrol pH menjadi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Idealnya, proses pemurnian pada zaman yang sudah maju ini menggunakan kontrol pH otomatis yang dihubungkan dengan modutrol di sistem penjatah kapur. Hal ini akan memudahkan pengontrolan pH dan efeknya adalah lebih sempurnanya proses pemurnian sesuai dengan keinginan.
Penggunaan pH meter digital di stasiun pemurnian sebenarnya sudah banyak diterapkan pada pabrik gula di jawa, akan tetapi kenyataannya penulis belum pernah menemui pH meter di pabrik gula (pemurnian) yang bisa berfungsi dengan baik, padahal investasi yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini merupakan sesuatu yang kurang mendapat perhatian, sehingga pabrik-pabrik yang latah untuk menjadi modern yaitu dengan menggunakan pH meter digital di stasiun pemurnian kecewa dengan performanya. Untuk itu perlu diperhitungkan dan diperhatikan jenis-jenis pH meter yang akan digunakan.
Technorati : gula teknologi pabrik lpp
Del.icio.us : gula teknologi pabrik lpp
Zooomr : gula teknologi pabrik lpp
Flickr : gula teknologi pabrik lpp