Selasa, 28 September 2010

Saccharate liming (Sistem sakarat di pabrik gula)

images.jpeg

Industri pengolahan gula pada umumnya menerapkan pemurnian dengan sistem sulfitasi (defekasi-sulfitasi). Terdapat beberapa pabrik saja yang menerapkan pemurnian secara karbonatasi diantaranya adalah PG. Gondang Baru di Klaten dan salah satu pabrik milik Sugar Group di lampung tengah. Beberapa pabrik gula baru menerapkan sistem pengolahan semi rafinasi yang bisa menghasilkan SHS (gula produk) yang memiliki warna (ICUMSA) yang lebih kecil daripada dengan proses sulfitasi.




Inovasi lain yang sedang ramai dibincangkan adalah sistem sakarat pada proses pemurnian. Pada masa giling tahun 2010, telah banyak pabrik gula di jawa yang berinovasi untuk menerapkan pemurnian dengan menambahkan susu kapur dalam bentuk kalsium sakarat. Sebelumnya, pabrik gula Gunung Madu di lampung tengah telah sukses menerapkan metode sakarat. Pada masa giling tahun 2009, PT. PG Rajawali II juga menerapkan metode ini disusul PT. PG. Rajawali I, dan PT. PG Candi Baru pada tahun giling berikutnya. Yang membedakan sistem ini dengan yang lain adalah pada cara penambahan susu kapur pada proses pemurniannya yaitu diberikan dalam bentuk kalsium sakarat.




Dalam proses pemurnian di pabrik gula, penetralan nira dilakukan dengan menambahkan susu kapur, hidroksida kapur yang terlarut mengalami ionisasi dari ion Ca++ bereaksi dengan asam. Konsentrasi ion Ca++ dipengaruhi oleh kelarutan kapur, dan ternyata kelarutan kapur cukup kecil, yaitu pada suhu 25OC hanya terlarut 0,12 ℅ yang berarti kecepatan reaksi penetralan juga lambat. Sifat sakarida mampu membentuk ikatan dengan kation, termasuk kapur membentuk sakarat sehingga kadar kapur aktif tampak menaik atau kelarutan kapur dalam larutan gula meningkat. Pada larutan sukrosa 10 % dapat mengandung CaO 1,5 %.




Kelarutan hidroksida kalsium akan turun bila suhu naik. Jadi larutan jenuh pada suhu kamar bila dididihkan atau dipanaskan akan terjadi pengendapan. Kelarutan juga dipengaruhi oleh sifat partikel kapur. Kelarutan hidriksida kalsium (kapur) juga akan naik pada pelarut berupa larutan gula. Semakin tinggi konsentrasi larutan gula, maka kelarutan kapur juga akan bertambah. Larutnya kapur akan menaikkan kadar kapur dalam larutan gula. Jika kadar kapur dalam larutan gula tinggi, maka terdapat kapur aktif yang tinggi pula yang berarti reaktifitas kapur akan meningkat. Hal ini yang menjadi dasar pemilihan sistem sakarat pada proses pemurnian.




Untuk menerapkan sistem sakarat ini, ada literatur yang menggunakan nira pekat dengan kadar brix 68 dicampur dengan menggunakan susu kapur dengan kadar 15 oBe dengan perbandingan 7 : 1 dengan waktu reaksi selama 5 menit dengan adanya pengadukan (mixing). Walaupun sebenarnya dapat dibuat juga dengan campuran nira mentah dan susu kapur. Larutan sakarat yang terbentuk mempunyai pH berkisar 11,0 - 11,5. Selanjutnya sakarat diinjeksikan sesuai dosis yang cocok pada nira mentah, tiap bahan (nira mentah) mempunyai karakteristik tertentu sehingga perlu adanya percobaan di laboratorium dalam penentuan dosisnya. Ada juga yang mencoba sakarat dengan perbandingan +/- 1% terhadap nira mentah yang diolah. Adapun injeksinya dilakukan pada pipa setelah tahapan pemanas pertama (JH/PP I).




Perlu menjadi perhatian dalam pembuatan sakarat, nira pekat pada kondisi pH yang tinggi (pH 11,0 - 11,5), beberapa gula reduksi yang telah rusak akan meningkatkan kadar asam organik dalam bentuk garam kalsium dan akan menurunkan PH. Selain itu, asam amino yang ada akan bereaksi dengan reducing sugar yang menyebabkan reaksi maillard. Proses degradasi ini bertambah banyak seiring dengan lamanya waktu tinggal, sehingga memperhitungkan waktu tinggal dalam proses pembuatan sakarat menjadi penting.




Operasi sakarat di PT. PG Rajawali II unit PG. Sindang laut, PG. Tersana Baru dan PG. Karang Suwung menunjukkan, aplikasi sistem sakarat ini akan menurunkan penggunaan bahan pembantu yang berupa belerang dan kapur tohor. Dalam operasi sakarat, jumlah penggunaan kapur yang dicapai adalah sebanyak 125 Kg/100 ton tebu dan belerang sebanyak 27 Kg/100 ton tebu.




Dalam operasi sakarat, kontrol pH menjadi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Idealnya, proses pemurnian pada zaman yang sudah maju ini menggunakan kontrol pH otomatis yang dihubungkan dengan modutrol di sistem penjatah kapur. Hal ini akan memudahkan pengontrolan pH dan efeknya adalah lebih sempurnanya proses pemurnian sesuai dengan keinginan.




Penggunaan pH meter digital di stasiun pemurnian sebenarnya sudah banyak diterapkan pada pabrik gula di jawa, akan tetapi kenyataannya penulis belum pernah menemui pH meter di pabrik gula (pemurnian) yang bisa berfungsi dengan baik, padahal investasi yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini merupakan sesuatu yang kurang mendapat perhatian, sehingga pabrik-pabrik yang latah untuk menjadi modern yaitu dengan menggunakan pH meter digital di stasiun pemurnian kecewa dengan performanya. Untuk itu perlu diperhitungkan dan diperhatikan jenis-jenis pH meter yang akan digunakan.










images.jpeg

0 comments: