Minggu, 20 April 2008

Ayam Goreng Ninit




Ini dia tempat makan favorit di Jogja yang punya sejarah timbul tenggelam cukup dramatis. Satu dekade yang lalu, ketika apa-apa masih murah (nasi + ayam + gorengan di warung cuma SERIBU!), Ayam Goreng Ninit ini melegenda sebagai tempat di mana kita bisa memaksimalkan potensi lambung dan perangkat pencernaan sampai sepol-polnya . . . karena di Ninit (jaman itu) nasi datang secara free flow, bahkan untuk kaum dengan lambung yang seolah tanpa dasar! Saat ini memang ada beberapa tempat makan dengan strategi seperti itu, tapi di masa Orde Baru dulu, Ninitlah pionirnya.


Pada era keemasannya, ruang makan Ninit yang lumayan luas selalu dipenuhi pengunjung, jarang sekali kelihatan sepi. Kemudian beberapa tahun lalu Ninit pindah markas. Anehnya, sebagai tempat makan yang terbilang sangat populer, Ninit malah pindah ke tempat yang lebih kecil. Sejak saat itu mulai beredar rumor kalau Ninit sudah tidak seenak dulu lagi. Saya sempat mencoba makan di Ninit versi cast-off ini dan memang rasanya agak kurang sreg. Maka dimulailah masa-masa 'please-wait-while-the-computer-is-shutting-down' pada tempat makan yang sebenarnya sudah melekat di hati orang-orang Jogja ini.


Kemudian saya sudah tak tahu lagi gimana kabarnya, hingga tiga minggu yang lalu seorang teman bilang kalau Ninit sudah buka lagi . . . kalimat yang mengindikasikan kalau memang tempat ini (mungkin) sempat shut down beneran. Markas baru Ninit berada di Jl. C. Simanjuntak - Terban, beberapa ratus meter dari rumah makannya yang lama.




Dengan perasaan harap-harap cemas, saya datang ke Ayam Goreng Ninit yang baru bersama seorang teman kost untuk makan malam. Lokasi barunya ini lumayan luas, dengan meja makan besar-besar yang pasti bisa menampung banyak orang. Sedikit lebih luas malah dari tempat lamanya saat golden era. Malam itu pengunjung cukup ramai. Kami memesan ayam goreng di counter bersama sebakul kecil nasi untuk dibawa ke meja makan.


Perbedaan jelas ada. Sekarang, sepotong ayam goreng dibandrol Rp 5 ribu. Lebih mahal dari sebelumnya, tentu saja. Dan ukurannya juga menyusut dengan signifikan. Ninit juga menyediakan menu non ayam yang lumayan banyak, dan ada juga tempe goreng tepung yang nyam-nyam sekali. Ninit bahkan menyediakan berbagai macam sambal untuk menemani ayamnya. Tapi sebagai seorang die hard fans, saya tetap setia dengan sambal a la Ninit yang disediakan gratis di setiap meja.




Berbeda dengan ayam goreng kremes a la Kalasan, keistimewaan ayam goreng Ninit terletak pada ayamnya yang dipresto, sehingga bisa dimakan secara efisien hingga ke tulang-tulang (kecuali tulang utama yang masih agak keras). Rasanya gurih dan digoreng garing. Jodoh utamanya cukup nasi dan sambal khas Ninit, dijamin puas! Untuk peringatan, sambal signature Ninit ini mungkin lebih cocok disebut kuah saking encernya. Rasanya perpaduan antara gurih dan sedikit asam tanpa rasa pedas yang berarti . . . tapi entah mengapa membuat ketagihan.




Ninit dan keistimewaannya rupanya memberikan kesan yang mendalam bagi pelanggannya. Termasuk Ayah saya, yang ternyata adalah seorang simpatisan fanatik Ninit. Sebagai gambaran, sejak isu flu burung merebak bertahun-tahun lalu, ayah saya puasa ayam (bahkan di rumah!) dan baru buka puasa bulan lal, di Ninit!


Terakhir saya menyambangi Ninit minggu lalu bersama . . . siapa lagi kalo bukan TTM (Teman Tukang Makan) setia saya Bu Pemred. Menurut Beliau, Ayam Goreng Ninit yang sekarang ini tulangnya tidak seempuk dulu. Tapi itu bukan halangan, karena kami berdua dengan lancar menghabiskan dua bakul nasi . . . dan Bu Pemred cukup memberi kontribusi lho! Suatu tindakan yang cukup beresiko, karena Bu Pemred sekarang sudah terjun ke dunia fashion! Nggak papa tuh Bu?

0 comments: